|
Once in a Blue Moon
Dear Diary
Namaku Carissa Athaya Putri. Sudah sekitar 7 tahun aku ingin menulisnya disini, tapi aku rasa waktu yang sangat memungkinkan adalah saat ini. Mungkin agak sedikit puitis dan kesannya terlalu labil, tapi setidaknya itulah yang aku rasakan.
Cerita ini saat aku masih dikelas sebelas, saat aku menginjak umur enam belas tahun. Dan untuk pertama kalinya aku merasakannya sendiri.
Namanya Dimas Adiputra, salah satu cowok yang keliatannya biasa aja, tapi ternyata dia lebih dari biasa. Aku rasa aku tidak perlu menceritakan bagaimana aku mengenalnya, karena aku satu kelas dengannya dan tentu saja aku kenal bukan?
Mungkin pada waktu itu aku tidak akan pernah bisa dekat dengannya kalau bukan karena salah satu temanku, Aziz.
"Risaaa! Kita pergi yuk." Ajaknya saat itu, 7 tahun lalu. Aku sangat mengingatnya, dan bahkan untuk 7 tahun kemudian, aku akan tetap mengingatnya.
"Kemana?" Tanyaku seraya membereskan buku buku sekolahku.
"Kemana aja. Sama Dinda dan Dimas."
Yang aku ingat, ekspresiku saat itu tidak lain adalah mengerutkan dahi dan menghentikan aktivitasku. Aku berpikir sebentar, lalu mengangguk. Satu hal yang ada dipikiranku saat itu; mungkin akan lebih baik apabila ada Dimas, jadi aku tidak akan menjadi pengganggu mereka.
Kami berempat-Aziz, Dinda, aku, dan Dimas-pergi mengunjungi taman bermain. Ada satu hal yang setidaknya membuatku berpikir bahwa apa yang aku pikirkan tadi itu benar. Dimas sangat menyenangkan. Walaupun baru kali itu aku dan dia berbicara, dia tetap menyenangkan. Sedangkan aku? Mungkin baginya aku hanyalah seorang gadis aneh yang gak banyak omong. Yah, alasannya sederhana; aku tidak pandai membuka pembicaraan.
Aku sangat bahagia saat itu. Bukankah berrmain bersama teman teman yang sangat menyenangkan itu adalah kebahagiaan? Dan sungguh, aku benar benar tidak akan melupakan setiap detik kejadian setelah hari itu.
Sekitar seminggu aku akrab dengan Dimas, tentu saja setelah kejadian di taman bermain itu, ya. Aku selalu tertawa, atau sekedar SMSan dengannya. Dan itu membuat ada satu hal yang tidak pernah aku rasakan. Saat itu aku selalu merasakan sakit perut. Kalau kata orang orang, mungkin ada kupu kupu yang mau keluar dari perutmu. Tidak ada hari yang tidak spesial dengannya.
Hal yang sangat aku sukai darinya yaitu kesan biasa yang membuatnya lebih dari biasa di mataku. Mungkin bagi kalian adalah hal kecil, tapi ingat:
The little things,
The little moments, They aren't little.
Saat itu aku sedang pergi dengannya, dan tiba tiba temanku menghubungiku untuk memberitahu bahwa Hani, salah satu teman dekatku masuk rumah sakit. Aku memberitahu Dimas untuk membatalkan tujuan kami, dan aku meminta agar aku naik angkutan umum ke arah rumah sakit, tetapi dia memaksaku untuk dia antar. Akhirnya aku mengalah. Dimas memutar balik mobil sedannya lalu menuju kearah rumah sakit seperti yang temanku katakan.
Setelah berada di rumah sakit selama satu jam, Dimas berniat pulang. Aku tidak ingin terus menerus menahannya, karena aku bukan orang seperti itu. Ia pamit pada kami berenam-jumlah teman dekatku enam, termasuk aku. Dan mungkin sekitar dua jam aku berada di rumah sakit, tiba tiba seseorang membuka pintu kamar temanku, dan aku lihat Dimas dengan pakaian kasualnya-jeans hitam dan kemeja berwarna hijau-yang tidak pernah aku lupakan. Dia sangat tampan dengan pakaian itu. Tetapi kemudian aku berpikir mengapa dia kembali ke rumah sakit?
Seperti seolah olah dia bisa membaca pikiranku, dia berkata, "Eh gapapa kan gue balik lagi? Gue mau jemput Carissa."
Dan lagi, seperti seolah olah ada kupu kupu yang hendak keluar dari perutku. Aku terpaku sedangkan teman temanku tersenyum penuh makna tersirat. Aku benar benar sakit perut kala itu! Lalu aku tersenyum pada mereka dan akhirnya pamit untuk pulang.
Ternyata tidak sampai situ.
Dia tahu bahwa aku hanya mengenakan kaus dan rok seragam sekolahku serta tas ransel yang berisi seragam dan buku buku. Ia memberiku jaket yang ia bawa dari bawah jok motornya, lalu memberikannya padaku. Dan tanpa suruhan dia membawa tasku sementara aku mengenakan jaketnya. Ada satu hal yang aku rasakan saat itu, ketulusan.
Aku mengambil kembali tasku lalu naik ke motornya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ternyata masih belum sampai akhirnya.
Dia membawaku ke caffee yang cukup terkenal dizamanku saat itu, lalu memesan makanan dan minuman. Kami membicarakan hal yang menyenangkan, dari penting sampai tidak penting. Bertukar sedikit rahasia. Dan dari situ aku mengetahui bahwa dia hanyalah seorang laki laki normal yang sama sepertiku. Hanya saja dia berbeda, dia adalah laki laki dan aku perempuan. Dan kalian semua tahu itu.
Makanan datang dan kami menikmatinya seraya melanjutkan pembicaraan. Sungguh, sikapnya sangat membuat kalian akan tergila gila dengannya. Dia cukup tampan, dan tingginya hampir mencapai 178cm. Sedangkan aku? Hanya sekitar 163cm.
Aku mengeluarkan dompetku, hendak membayarnya tetapi dengan tangannya yang besar menahanku, dan memaksaku untuk duduk. Aku menolak beberapa kali, tetapi dia meyakinkanku bahwa dia yang akan membayarnya. Sungguh, aku tidak pernah merasakan sebegitu anehnya perasaanku. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan. Setelah membayar, akhirnya dia mengantarku pulang karena aku sudah sangat kelelahan.
Sudah hampir dua bulan aku dekat dengannya setelah hari itu, sama seperti waktu waktu sebelumnya, dia terus melakukan hal yang sama dengan perbedaan perasaanku yang selalu tumbuh. Mungkin baginya dan bagi kalian itu adalah hal kecil yang selalu akan dirasakan orang lain. Tapi bagiku berbeda, bahkan sampai detik ini, setelah 7 tahun lamanya, rasa itu masih tetap ada dan sama seperti saat itu.
Dan ini adalah hal kecil bagi kalian yang membuatku benar benar bahagia.
Kami pergi ke suatu tempat yang sangat indah, sungguh. Mungkin cukup jauh dari rumahku, tetapi dari situ aku bisa melihat semuanya. Di lantai paling atas gedung ini, aku berdiri tepat mengarah pada jalanan. Kota Jakarta yang sibuk, dan lampu lampu jalanan yang menyala. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah aku lupakan karena pada saat itu, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Bulan itu berwarna biru...
Dan aku melihat disaat itu juga Dimas runtuh, tidak sadarkan diri.
Aku panik, lalu segera menghubungi rumah sakit terdekat. Tidak lama kemudian, ambulan datang dan membawa Dimas dan aku, motornya dibawa oleh salah satu petugas rumah sakit.
Aku menunggu sekitar lima jam sampai orang tua Dimas datang dari luar kota, tetapi Dimas masih belum sadarkan diri. Dia masih berada di ruang ICU sedangkan aku menunggunya diluar. Satu persatu keluarga masuk, sedangkan aku masuk setelah keluarga.
Aku melihat banyak selang yang ada ditubuhnya. Aku melihat ada layar monitor ECG. Aku duduk di kursi samping kasurnya. Memandangi matanya yang tertutup dan wajahnya yang pucat. Aku pernah baca, kalau seseorang sedang koma ia masih bisa mendengar apa yang orang lain katakan.
Jadi aku berkata, "Cepat sembuh ya Dim."
Aku memegangi tangannya yang terinfus, kemudian..
"Carissa!" Kata seseorang tiba tiba membuka pintu kamarku. Aku menoleh lalu melihat Aziz masuk ke kamarku.
Aku mendengus lalu segera menutup buku harianku. "Yuk cepet!"
Aku mengangguk, hendak membereskan buku harianku tetapi tiba tiba Aziz melangkah mendekat. "Gue tunggu bawah ya. Jangan sampai terlambat, ris. Inget hari ini ulang tahun Dimas."
Lagi lagi aku mengangguk, dan menutup buku harianku. Aku segera mengambil hadiah ulang tahun Dimas dan melangkah menuju keluar kamar untuk turun menyusul Aziz dan Dinda.
Kami pergi ke tempat yang sangat elit, dan tentunya mahal. Pohon rindang yang menyambut kedatangan kami, hanya ada beberapa orang disana, tentunya orang tua Dimas.
Aku melangkah mendekat, menguatkan dan memantapkan perasaanku agar tidak lemah. Aku menapak pada rumput hijau yang bersih, dan tentunya juga terawat. Cukup jauh untuk sampai ke tempatnya, dan terlihat orang tua Dimas menyambutku.
Tante Arin tersenyum melihatku, dan juga pandangannya berubah ke belakangku yang terdapat Aziz dan Dinda. "Selamat datang Carissa."
Aku membalas senyumnya. "Iya tante."
"Kamu masih nggak berubah ya ris, masih tetap cantik kayak dulu. Padahal udah lama ya kita gak ketemu." Lanjut Om Dani.
Aku terkekeh lalu memandangi tempat Dimas. "Gih sana. Dimas udah nunggu kamu." Kata Tante Arin.
"Terima kasih tante."
Aku melangkah menjauhi mereka dan kemudian duduk tepat disamping tempat Dimas. Aku meletakkan hadiahku yang sangat indah, bouquet bunga mawar merah tepat diatas nisannya.
Aku tersenyum. "Selamat ulang tahun, Dimas."
Bagi kalian, terlalu berlebihan untuk menangis bukan? Tetapi aku menangis. Tentu saja aku menangis.
Aku mengusap nisan Dimas dan segera bangkit. Sudah sekitar satu jam aku memandang kosong pada nisan itu. Membayangkan hal hal yang seharusnya aku dan dia lakukan kalau saja dia tidak secepat itu pergi.
Setelah berbincang sebentar, kami pamit dan Aziz mengantarku pulang. Lalu aku berniat untuk melanjutkan tulisanku.
Kemudian...
Monitor itu berbunyi sangat panjang. Diikuti dengan air mata Dimas yang terjatuh dari matanya.
Aku menangis..
Melihat kepergian seseorang yang sangat aku sayangi.
Dan saat ini aku sadar,
bahwa Tuhan telah mengambil satu satunya orang yang sangat aku sayangi setelah kedua orang tuaku.
Tuhan telah mengambil harapanku.
Dan Tuhan telah membiarkan Bulan Biru itu membawa Dimas pergi bersamanya.
Aku tahu, Dimas tahu, Tuhan tahu, dan kalian pun tahu, bahwa setiap cerita memiliki akhir, tetapi akhir dari kehidupan adalah sebuah awal.
Dalam tulisanku ini, Dimas berakhir. Tetapi dalam hidupku, adalah sebuah awal. Awal untuk meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak mengambil keputusan yang salah.
Penyebab kematiannya karena penyakit kanker, yang tidak pernah aku ketahui selama ini.
Aku menangis dan berjalan menuju ke kamar mandi dekat ICU, lalu melihat kearah langit. Bulan biru itu sudah pergi.
Yang seolah olah Bulan Biru itu sengaja datang untuk membawa Dimas pergi.
Dan hari ini, adalah hari ulang tahunnya yang ke 24 tahun.
Selamat ulang tahun Dimas Adiputra.
Aku menutup buku harianku, lalu meletakkannya disalah satu tempat buku lamaku.
Dan itulah, kertas kosong terakhir yang sudah aku isi dengan cerita tentangnya. Yang bahwa cerita sebelumnya adalah cerita tentangnya dan cerita tentang masa SMAku.
Dan terakhir,
Bulan biru itu telah membawa Dimas pergi bersamanya, dan tidak akan pernah kembali.
Sekali dalam hidupku, aku melihat bulan itu menghilang bersama Dimas.
Untuk selamanya..
Aug 8, 2015.
|
0 Komentar:
Posting Komentar